Harus ada langkah berani dan bijak dari pemerintah untuk menertibkan truk berdimensi dan bermuatan lebih atau over dimension over loading (ODOL). Tentunya dengan memperhatikan dan mempertimbangkan masalah kemanusiaan, sosial, dan ekonomi.
ODOL menjadi salah satu gambaran buram tentang kondisi angkutan logistik nasional dewasa ini. Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan truk menjadi salah satu penyebab fatalitas tertinggi kedua setelah kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor.
Keberadaan ODOL tidak hanya menimbulkan kerugian material yang tinggi akibat fatalitas yang tinggi, akan tetapi keberadaan ODOL juga memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap kondisi infrastruktur jalan Indonesia.
Kondisi yang demikian turut mendorong pemborosan anggaran negara. Perhitungan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2025, indikasi pemborosan keuangan negara akibat kerusakan pada jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota sebesar Rp 47,43 triliun setiap tahun.
Dari sisi ekonomi, ODOL selain tidak memenuhi standar kawasan perdagangan bebas ASEAN, juga membuat lemahnya daya saing nasional, termasuk salah satu penyebab menurunnya daya saing infrastruktur.
Tiga macam kepemilikan
Menurut Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), ada tiga macam kepemilikan kendaraan angkutan barang. Pertama, pengusaha truk yang berbadan hukum (PT dan koperasi). Cirinya tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) plat kuning.
Kedua, berbadan hukum bukan pengusaha truk, seperti industri (pabrikan), kontraktor, pengusaha tambang. Ketiga, perorangan tidak berbadan hukum sebagai usaha pribadi. Cirinya tidak memiliki banyak armada (biasanya kurang dari lima unit) dan TNKB plat putih.
Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri sedang mendata kendaraan truk. Hingga 24 Juli 2025, jenis kepemilikan truk oleh pribadi sebanyak 63.786 unit (63 persen). Terbagi menjadi yang kelebihan dimensi 13.261 unit (21 persen) dan kelebihan muatan 50.525 unit (79 persen).
Sementara kepemilikan kendaraan truk oleh perusahaan sebanyak 37.822 unit (37 persen). Terbagi menjadi 12.259 unit (32 persen) kelebihan dimensi dan 25.563 unit (68 persen) kelebihan muatan.
Sumber dari PT Jasa Marga (2022) menyebutkan, panjang jalan nasional di seluruh Indonesia yang dimanfaatkan oleh perusahaan tambang, kebun, dan industri sepanjang 16.839 kilometer (km) atau 35 persen dari total panjang jalan nasional 47.604 km. Sebanyak 63 persen angkutan barang yang menggunakan jalan nasional tergolong ODOL (perusahaan tambang, kebun, dan industri).
Persebaran angkutan barang
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mengenai persebaran kendaraan angkutan barang di Indonesia, jumlah truk di Indonesia pada 2023 sebanyak 6.091.822 unit. Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya. Sebanyak 49,3 persen di antaranya berada di Pulau Jawa (576.948 unit di Jawa Barat, 782.173 unit di Jawa Timur, dan 667.136 unit di Jawa Tengah).
Sementara di daerah lain sebanyak 316.652 unit di Sumatera Utara, 234.825 unit di Riau, 341.150 unit di Sumatera Selatan, dan 232.077 unit di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan data Polri yang diolah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2025, kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang sebesar 10,5 persen. Angka tersebut menjadi tertinggi kedua secara nasional.
Adapun, peringkat pertama ditempati sepeda motor (77,4 persen). Selanjutnya, angkutan orang (8 persen), mobil penumpang (2,4 persen), kendaraan tidak bermotor (1,5 persen), dan kendaraan listrik (0,2 persen).
Angka kecelakaan dan jumlah korban terus bertambah setiap tahunnya dan akan berdampak pada kerugian ekonomi.
Penuntasan truk ODOL
Presiden Prabowo Subianto menyerahkan urusan penanganan dan penuntasan truk ODOL pada Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan.
Setelah mengumpulkan dan berdiskusi dengan sejumlah kementerian/lembaga dan kelompok komunitas masyarakat peduli keselamatan, termasuk Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (2025) menawarkan tiga agenda.
Ketiga agenda yang akan dilakukan, yaitu (1) pemberantasan praktik pungutan liar (pungli) pada ekosistem angkutan barang, (2) pengaturan peningkatan kesejahteraan pengemudi kendaraan angkutan barang, dan (3) deregulasi dan sinkronisasi peraturan terkait angkutan barang.
Selain itu, ada sembilan Rencana Aksi Nasional dan 47 keluaran (output) terkait implementasi Zero ODOL dalam Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penguatan Logistik Nasional, yaitu (1) integrasi penguatan angkutan barang menggunakan sistem elektronik, (2) pengawasan, pencatatan, dan penindakan kendaraan angkutan barang, (3) penetapan dan pengaturan kelas jalan provinsi dan kabupaten/kota, serta penguatan penyelenggaraan jalan khusus logistik.
Lalu, (4) peningkatan daya saing distribusi logistik melalui multimoda angkutan barang, (5) pemberian insentif dan disinsentif untuk badan usaha angkutan barang dan pengelola kawasan industri yang masing-masing menerapkan atau melanggar Zero ODOL, (6) kajian pengukuran dampak penerapan kebijakan Zero ODOL terhadap perekonomian, biaya logistik, dan inflasi.
Selanjutnya, (7) penguatan aspek ketenagakerjaan dengan standar kerja yang layak bagi pengemudi, terutama mengenai upah, jaminan sosial, dan perlindungan hukum, (8) deregulasi dan harmonisasi peraturan untuk meningkatkan efektivitas penegakan Zero ODOL.
Terakhir, (9) kelembagaan pembentukan komite kerja untuk mendorong percepatan pengembangan konektivitas nasional sebagai ”delivery unit” lintas sektor untuk percepatan pengembangan konektivitas dan logistik di seluruh moda transportasi.
Tidak ada solusi yang lahir dari diam di tempat. Meski langkah pertama belum tentu sempurna, itulah yang membuka jalan menuju nyata. Setiap truk besar pun tetap gigi satu untuk mulai berjalan. Begitu pula solusi ODOL harus dimulai dari langkah pertama meskipun jalannya belum mulus.
Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat
Leave a Reply